[Resensi] Purple Eyes - Dewa Kematian dan Pemuda Bermata Ungu

Judul: Purple Eyes
Penulis: Prisca Primasari
Penyunting: Cerberus404
Proofreader: Seplia
Design Cover: Chyntia Yanetha
Tebal: 144 halaman
Terbit: Mei 2016
Penerbit: Inari
ISBN: 978-602-74322-0-8
Keterangan: Novelet, Fantasy, Indonesia


BLURB

Karena terkadang tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang bertubi-tubi.

Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebohkah patung lilin.

Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh.

Berlatar di Thondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.

-----

Dewa Kematian dan Pemuda Bermata Ungu

Pada dasarnya manusia selalu mempunyai pilihan untuk sesuatu yang akan ia lakukan di dunia. Termasuk tentang hidup atau mati. Bertahan atau pergi. Bahkan merasakan atau tidak sama sekali.

Suatu ketika, di tempat transit antara hidup dan mati, Hades yang tak lain adalah dewa kematian terlihat sangat bosan. Semua itu dikarenakan tugasnya yang itu-itu saja sejak seratus tahun silam. Si dewa yang memiliki sepasang sayap hitam lebar itu juga tidak tertarik melihat pekerjaannya saat ini. Ia bertugas untuk memberi ujian pada manusia-manusia yang sekarat, bertujuan untuk mengetahui apakah mereka ingin hidup atau mati. Sayangnya, 99% dari orang-orang itu ingin mati. (hlm 7)

Seratus tahun silam, Hades pernah turun ke bumi untuk melakukan suatu misi. Kini, dewa kematian itu mengenang misi tersebut, berkata misi itu sangat rumit namun di situlah letak menariknya. (hlm 10)
Lyre—asisten Hades kemudian mengusulkan agar Hades datang lagi saja ke bumi dan melihat keadaan bumi. Tapi ternyata tidak segampang itu. Seorang dewa kematian pun harus mendapat perintah untuk turun ke dunia manusia. Hades juga merasa tidak akan ada kasus penting di bumi dalam waktu dekat. Namun Lyre berkata sebaliknya, mungkin saja Hades akan turun ke bumi lagi karena suatu kasus yang begitu meresahkan.

Ada pembunuhan berantai dan pembunuh itu dengan teganya mengambil lever dari mayat-mayat orang yang telah dibunuhnya. Hingga saat ini si pembunuh masih berkeliaran bebas dan tidak diketahui identitasnya.
Kejadiannya di Trondheim, Norwegia.
Tak lama kemudian, Hades mendapatkan perintah itu. Ia dan Lyre menyamar dan akan melakukan sebuah petualangan ke rumah salah satu keluarga korban.

Di sisi lain, Ivarr Amundsen—pemuda bermata ungu—tinggal di rumah yang indah dan luas dengan interior yang bagus. Pemuda itu kehilangan adiknya sejak sebulan yang lalu. Meskipun begitu, tak sekalipun ia menangis.
Ivarr bertanya-tanya, kenapa ia tidak bisa menangis  saat satu-satunya keluarga yang ia miliki mati dengan cara yang keji? Meski ia sudah mencoba mengenang tiap-tiap detik kebersamaannya dengan sang adik, namun tetap tak ada satupun perasaan terpancar dari dirinya. (hlm 20)
Lalu Ivarr kedatangan tamu yang tak lain adalah Hades dan Lyre. Hades di dunia manusia kini memakai nama Halstein sedangkan Lyre bernama Solveig. Hades pun menuturkan kalimat-kalimat menyakinkan agar bisa bekerjasama dengan Ivarr. Ivarr sangat lega, kali ini yang datang bukanlah polisi atau detektif. Namun tetap merasa aneh dengan dua tamunya yang juga memiliki sikap yang aneh.

Tapi ternyata si dewa kematian yang menyamar itu tengah menyusun sebuah rencana besar untuk si pemuda bermata ungu. Mengubah emosi pemuda itu menjadi sesuatu yang dapat Hades gunakan untuk menyelesaikan misinya. 
“Terkadang memang ada yang perlu dikorbankan, demi tujuan yang lebih baik.” (hlm 113)
Novel berlatar di daerah bersalju yang muram ini membawa pembaca memaknai hidup dan mati. Bahwa sebenarnya sebuah kematian sudah ditakdirkan pada siapa pun juga di dunia ini, namun tidak sepatutnya orang-orang yang akan mati tersebut berdiam diri saja menunggu kematiannya. Seharusnya setiap orang melakukan hal yang berguna sebelum nyawanya dicabut dari raga. Namun tetap saja, mau berbuat baik atau jahat, menerima rasa sakit atau mengabaikannya, hanya kita sendirilah yang dapat menentukannya.

Hati Ivarr menghangat. Di setiap kesedihannya, menyelusup rasa itu... rasa yang dia harapkan, yang diiringi rasa syukur karena dirinya masih mampu mengenang mereka berdua. (hlm 138)


*Diikutkan dalam Indonesia Reading Romance Chalenge 2016 

Posting Komentar

0 Komentar