[Review] Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Judul: Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto
Penulis: Mitch Albom
Alih Bahasa: Lanny Murtihardjana
Editor: Rosi L. Simamora
Desain sampul: Orkha Creative
Tebal: 567 halaman
Terbit: September 2016
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-03-3380-9
Keterangan: Terjemahan

B L U R B

Semua manusia berbakat musik. Jika tidak, mengapa Tuhan memberimu jantung yang berdenyut?
Melalui kecintaannya pada musik, Mitch Albom menyusun novel indah tentang pengaruh bakat dalam mengubah hidup manusia.

Inilah kisah epik tentang Frankie Presto––gitaris paling hebat yang pernah ada––dan enam kehidupan yang diubah melalui enam dawai biru gitarnya.

Frankie lahir di gereja yang terbakar, bayi yatim-piatu yang dididik oleh seorang guru musik di kota kecil di Spanyol. Perang menghancurkan hidupnya, dan pada usia sembilan tahun dia diselundupkan ke Amerika di dalam perahu. Harta Frankie satu-satunya adalah gitar tua dan enam dawai berharga. Frankie merambahi khasanah musik tahun 1940, 1950, dan 1960-an dengan bakatnya yang luar biasa sebagai gitaris dan penyanyi yang memengaruhi bintang-bintang pada zaman itu, (Duke Ellington, Hank Williams, Elvis Presley), sampai akhirnya dia pun menjadi bintang tenar.

Namun bakat luar biasa ini juga menjadi beban ketika Frankie menyadari petikan gitarnya, musiknya, dapat memengaruhi kehidupan orang-orang lain. Pada puncak ketenarannya, dia membuat satu kesalahan, dan merasa bersalah. Dia menghilang. Legendanya berkembang. Berpuluh tahun kemudian, setelah hatinya pulih, dia muncul kembali untuk mengubah satu kehidupan terakhir.

Dalam buku ini, Musik menjadi sang Narator, dan melalui tutur katanya kita diajak melongok ke dalam banyak kehidupan yang diubah oleh sang gitaris yang dawai-dawainya sanggup menyentuh jiwa musik di dalam diri kita semua.

R E V I E W

“Kebenaran adalah terang. Dusta adalah bayangan. Musik adalah keduanya.”

Frankie Presto adalah salah seorang pemusik yang memiliki kisah begitu panjang. Lahir dengan nama Fransisco ketika perang saudara tengah berkecamuk di Villareal, Spanyol. Saat itu Carmencita—ibu Frankie—memasuki gereja untuk mendoakan janinnya, namun wanita itu tiba-tiba menjerit karena kontraksi hebat, tanda hendak melahirkan. Seorang biarawati muda mendengar jeritan Carmencita dan mendatangi wanita yang akan melahirkan itu. Tetapi, sebelum keduanya sempat menuju rumah sakit, pintu gereja didobrak oleh kaum revolusioner  dan militan yang marah kepada pemerintah baru dan ingin menghancurkan gereja.

Biarawati muda itu cepat-cepat membawa Carmencita ke ruang tersembunyi di gereja, membantu Carmencita melahirkan. Dan setelah melahirkan, masih ada satu hal lainnya yang harus dilakukan oleh Carmencita, yaitu menjaga agar Frankie yang baru lahir itu tidak menangis. Sementara para penyerbu itu kian mendekat, Carmencita pun menyanyikan sebuah lagu berjudul Larigma, yang berarti air mata. Frankie memang tidak menangis, hingga setahun lamanya. Namun, ketika Frankie yang masih bayi itu bisa mengeluarkan tangisannya, ia lagi-lagi harus berhadapan dengan hal yang mengerikan.
Dalam hidup ini setiap orang bergabung dengan band.  Kau lahir dalam band pertamamu. Ibumu menjadi pemain utama. Dia berbagi pentas dengan ayah dan saudara-saudaramu.  – hlm 31
Sementara hidup berjalan terus, kau akan bergabung dengan band-band lain, beberapa melalui persahabatan, beberapa melalui percintaan, beberapa melalui lingkungan di sekitar rumah, sekolah, dan tentara. Mungkin kalian mengenakan seragam, atau menertawakan kosa kata pribadimu. Boleh jadi kalian menjatuhkan diri di sofa di balik punggung, makan bersama di satu meja kamar indekos, atau berdesak-desakan di dapur kapal. Namun, dalam setiap band tempatmu bergabung, kau akan memegang peran berbeda, dan peran ini akan memengaruhimu, sama seperti kau memengaruhinya.Selain itu, seperti nasib yang biasanya menimpa band, kebanyakan dari mereka akan bubar—karena jarak jauh, perbedaan, perceraian, atau kematian. – hlm 31-32
***
Novel ini merupakan novel kedua Mitch Albom yang saya baca. Masih dengan nuansa fantasi ringan yang penuh nilai moral, menjabarkan hidup seorang legenda musik bernama Frankie Presto. Tentu, Frankie Presto ini sendiri hanyalah rekaan. Namun, penulis berhasil membuat hidup Frankie begitu nyata. Karirnya yang cemerlang dan mengagumkan ternyata tidak terlepas dari kisah hidupnya yang rumit dan tidak diketahui oleh orang-orang.

Kehilangan ibunya, kehilangan ayah angkatnya, kehilangan guru musiknya dan bahkan kehilangan dirinya sendiri. Frankie yang disebut-sebut sangat mirip dengan Elvis Presley ini menjalani masa kecilnya yang rumit dengan berpindah-pindah. Saat itu, setelah ayah angkatnya yang merupakan pemiliki sarden bernama Baffa Rubio ditanggap, Baffa meminta pada El Maestro—guru gitar Frankie—untuk membawa Frankie ke Amerika.

El Maestro pun mengurus segala dokumen-dokumen untuk Frankie dan memberikan gitar dengan enam dawai kepada Frankie kecil. Setelahnya Frankie berangkat sendirian ke Amerika, ketika ia berumur 10 tahun.

Lalu, karena suatu kejadian dawai-dawai gitar pemberian El Maestro secara ajaib tiba-tiba berubah menjadi biru. Kemudian satu persatu dawai-dawai itu berubah menjadi biru, dalam selang waktu berbeda selama hidupnya.

Banyak sekali pesan-pesan moral yang diselipkan penulis di novel ini. Tentang kehidupan yang seimbang, yang memiliki suka duka di setiap saatnya. Juga tentang beberapa hal dasar yang seharusnya kita lakukan di hidup ini.
Seperti dijelaskan pada beberapa halaman yang akan saya kutip.
“Kau tidak bisa menulis bila tidak membaca,” ujar laki-laki buta itu. “Kau tidak bisa makan bila tidak mengunyah. Dan kau tidak bisa bermain musik bila kau tidak”—tiba-tiba dia menyambar tangan anak itu—“mendengarkan.” – hlm 80 
Kadang-kadang aku berpikir bakat yang paling hebat adalah kegigihan.
Namun hanya kadang-kadang saja. -- hlm 56
Namun itulah kenyataannya. Pada hari Frankie menemukan arti cinta, dia kehilangan keluarga.
Dari mayor ke minor. -- hlm 131
“Ya, dan kau akan merasa takut lagi. Sepanjang hidupmu. Dan kau harus menakhlukkan rasa takut ini. Hadapi mereka dan anggap saja mereka tidak ada.” – hlm 171
Aku adalah musik. Aku berada di dalam dirimu. Kenapa aku harus bersembunyi di balik serbuk ataupun uap?Apakah kau pikir aku serendah itu? – hlm 195
Sudah kukatakan musik memungkinkan kreasi cepat. Tapi itu bukan apa-apa bila dibandingkan dengan apa yang mampu dihancurkan manusia dalam satu percakapan saja. – hlm 229
“Tidak, aku memang tidak ingin. Tapi inilah hidup. Kau bakal kehilangan. Kau harus mulai belajar lagi berkali-kali—atau kau bakal tak berguna.” – hlm 374

Selain memiliki pesan-pesan moral, novel ini juga menjabarkan tentang musik, instrumen musik, dan tokoh-tokoh musik yang sudah melegenda. Tokoh-tokoh musik itu disajikan secara fiksi memang, untuk membuat kisah hidup Frankie lebih nyata.

Saya sendiri tidak begitu mengetahui tentang musikus-musikus itu karena memang bukan di bidang saya. Namun itu menjadi pengetahuan tambahan buat saya bahwa musikus itu pun memiliki cabang-cabangnya sendiri, seperti rock and roll, blues dan lainnya. 

Bagian kesukaan saya tentang musik ini sendiri yaitu deskripsi penulis tentang instrumen musik. Yang paling bikin saya ingin menjatuhkan novel ini yaitu ada di halaman 228-229, saat Frankie kecil tahu bagaimana rasanya dibohongi. Di sana instrumen yang dipakai penulis untuk menggambarkan sentakan saat dibohongi adalah snare drum. Bunyi 'duk!' yang digambarkan di sana sama seperti bunyi jantung ketika mendapatkan kenyataan yang tidak diinginkannya.

Saran saya jika ingin membaca novel ini atau novel Mitch Albom yang lain ya harus dalam keadaan siap merenung atau sedang bersantai. Karena novel ini memiliki alur yang pelan, namun membuat sentakan besar yang halus. Aneh ya, sentakan besar yang halus? Ya, tapi begitulah yang saya rasakan saat membaca novel ini. Kekosongan yang sangat kosong, lalu tiba-tiba datang banjir bandang!
"Dawai keenam, atau nada E rendah, adalah yang paling dalam, lamban, dan galak. Kaudengar sedalam apa? Dum-dum-dum. Seakan sudah siap mati."
"Apakah karena letaknya paling dekat dengan surga?"
"Tidak, Fransisco. Tapi karena hidup akan selalu menyeretmu ke dasar."

Posting Komentar

0 Komentar