[Review] The Girl on The Train

Judul: The Girl on The Train
Penulis: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Penata aksara: Axin
Perancang sampul: Wida Sartika
Tebal: 440 halaman
Terbit: September 2015
Penerbit: Noura Books
ISBN: 978-602-0989-97-6
Keterangan: Terjemahan, Thriller, Pembunuhan


B L U R B

Rachel menaiki kereta komuter yang sama setiap pagi. Setiap hari dia terguncang-guncang di dalamnya, melintasi sederetan rumah-rumah di pinggiran kota yang nyaman, kemudian berhenti di perlintasan yang memungkinkannya melihat sepasangan suami istri menikmati sarapan mereka di teras setiap harinya. Dia bahkan mulai merasa seolah-olah mengenal mereka secara pribadi. “Jess dan Jason,” begitu dia menyebut mereka. Kehidupan mereka-seperti yang dilihatnya-begitu sempurna. Tak jauh berbeda dengan kehidupannya sendiri yang baru saja hilang.

Namun kemudian, dia menyaksikan sesuatu yang mengejutkan. Hanya semenit sebelum kereta mulai bergerak, tapi itu pun sudah cukup. Kini segalanya berubah. Tak mampu merahasiakannya, Rachel melaporkan yang dia lihat kepada polisi dan menjadi terlibat sepenuhnya dengan kejadian-kejadian selanjutnya, juga dengan semua orang yang terkait. Apakah dia telah melakukan kejahatan alih-alih kebaikan?


R E V I E W
Satu berarti penderitaan, dua berarti kebahagiaan, tiga berarti bocah perempuan, empat berarti bocah laki-laki, lima berarti perak, enam berarti emas, tujuh berarti rahasia yang tak pernah boleh diceritakan. 

Cerita dimulai tanggal 5 Juli 2013 pagi, ketika Rachel sedang menaiki kereta dan melihat onggokan kain biru muda bercampur dengan sesuatu berwarna putih kotor di samping rel kereta. Benaknya berkata itu sampah, atau mungkin peninggalan insyinyur-insyinyur yang bekerja di bagian rel kereta, atau mungkin sesuatu yang lain. Rachel mengaku ibunya mengatakan bahwa imajinasinya terlalu aktif dan bahkan Tom—mantan suaminya—juga berkata begitu.

Rachel suka mengamati pemandangan yang bergulir dengan cepat dari jendela gerbong. Terutama mengamati rumah-rumah itu. Di jalan Blenheim Road. Rumah Jess dan Jason. Melihat keduanya bercengkerama dengan romantis dari dalam kereta. Melihat interaksi keduanya yang hangat. Rumah itu bernomor 15. 

Rumah itu tak berapa jauhnya dari rumah Rachel yang lama, rumah bernomor 23. Rumah tempatnya dan Tom pernah tinggal dulu. Dan rumah tempat Tom dan Anna—istri Tom—saat ini tinggal dengan tambahan seorang bayi. 

Bayi... Rachel bahkan dulunya sangat menginginkan bayi namun ia merasa bersalah. Gara-gara dirinya, ia dan Tom tidak memiliki bayi lalu ia sendiri melampiaskan semuanya ke alkohol, menengak minuman itu hingga ia sendiri tidak tahu mana mimpi, mana kenyataan, mana perbuatannya dan mana sebenarnya yang harusnya ia lakukan. Rachel tahu itu, alkohol begitu menyengsarakannya, namun ia tidak berhenti.

Suatu hari, dikabarkan bahwa Jess menghilang. Jess yang setiap harinya ia lihat melalui jendela kereta ternyata bernama Megan. Ia menamai kedua orang itu Jess dan Jason karena menurutnya itu nama yang sesuai. Lagi pula, Rachel juga tidak pernah bertemu keduanya. Kedua orang itu pindah ketika ia sudah bercerai dari Tom. 
Tentu saja sesungguhnya aku tidak bisa melihat Jess. Aku tidak tahu apakah dia melukis, atau apakah Jason punya tawa yang memikat, atau apakah Jess punya tulang pipi yang indah. Aku tidak bisa melihat struktrur tulang Jess dari sini dan aku tidak pernah mendengar suara Jason. Aku tidak pernah melihat mereka dari dekat, mereka tidak tinggal di rumah itu ketika aku masih tinggal di jalan yang sama. Mereka pindah ke sana setelah aku pergi dua tahun lalu, aku tidak tahu kapan persisnya. Kurasa aku mulai memperhatikan mereka kira-kira setahun belakangan, dan perlahan-lahan, ketika bulan-bulan berlalu, mereka menjadi penting bagiku. -- hlm 12

Kabar menghilangnya Megan sungguh mengganggu Rachel. Masalahnya, beberapa waktu yang lalu ia melihat Megan berciuman dengan seorang pria, yang bukanlah suami Megan. Rachel tidak suka dengan perselingkuhan itu, tapi ia lebih tidak suka lagi jika Scott Hipwell—Jason, suami Megan—yang disalahkan. Karena Rachel tahu, Scott tidak begitu. Scott sangat baik pada Megan. Ia melihat itu setiap harinya melalui jendela kereta. Rachel sangat tahu dan ia harus memberikan kesaksiannya pada polisi, bahwa Scott tidak bersalah. Bahwa mungkin saja Megan berselingkuh dan sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya. Atau mungkin saja Megan berselingkuh lalu dibunuh oleh selingkuhannya. Atau mungkin masih ada hal lainnya? Tapi, polisi tidak memercayai Rachel karena Rachel adalah pemabuk—saksi yang tidak dapat dipercaya. Lantas bagaimana caranya Rachel bisa membantu Scott? Apa yang harus ia perbuat selanjutnya? Siapa sebenarnya yang menculik—atau membunuh Megan? Dan mengapa?

*** 

Aku ingin tahu apa yang terjadi; seandainya saja aku tahu untuk apa aku harus minta maaf. Aku berupaya mati-matian untuk memahami secuil ingatan yang tidak jelas. Aku merasa yakin bahwa aku bertengkar, atau menyaksikan pertengaran. – hlm 57

Salah satu hal dalam novel ini yang membuat saya kagum adalah penulis menggunakan orang-orang yang tidak bisa dipercaya sebagai pembicara dalam novel ini. Bahkan itu ditulisankan menggunakan sudut pandang orang pertama. Itu sulit sekali membuat tulisan yang penuh kebohongan. Bagaimana tidak? Ketiga tokoh itu: Rachel, Megan dan Anna adalah orang-orang bermasalah. Mereka berbicara penuh kontradiksi. Di satu sisi mereka pro dan di sisi lagi mereka kontra. Bahkan dalam satu halaman, mereka bisa memiliki dua—atau lebih pendapat yang bersimpangan.

Rachel adalah seorang pemabuk berat. Tiada hari tanpa minum dan tiada hari tanpa berbohong. Ia begitu mencintai Tom, begitu merindukan kehangatan Tom dan begitu merindukan rumah di depan rel kereta itu. Ia tidak suka jika Anna tinggal di sana. Bertanya-tanya apa saja yang telah diubah Anna pada rumahnya dulu itu? Rachel sering menelpon Tom ketika dirinya mabuk. Sering meninggalkan pesan untuk Tom, seperti ia sangat tidak terima Tom menjauh darinya. Meski di sisi lain, Rachel ini merupakan korban perselingkuhan.
Aku memejamkan mata, membiarkan kegelapan berkembang dan menyebar hingga berubah dari perasaan sedih menjadi sesuatu yang lebih buruk: ingatan, kilas-balik. Aku bukan hanya meminta Tom untuk menelepon kembali. Kini aku ingat, aku menangis. Kukatakan bahwa aku masih mencintainya. Ayolah, Tom, ayolah, aku perlu bicara denganmu. Aku merindukanmu. Tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak. – hlm 17 

Megan adalah seorang wanita yang selalu kabur, selalu menghilang dan berlari. Megan berlari ketika kakak laki-lakinya meninggal, dan terus seperti itu. Ia suka sekali kabur dari masalah. Ia mencintai Scott dan merasa nyaman dengan Scott, namun ada saat-saat dimana ia takut Scott tahu dirinya yang sebenarnya. Scott pasti tidak akan melihat dirinya seperti yang dulu lagi. Megan sendiri mengalami insomnia akut, hingga akhirnya Scott menyarankan Megan untuk menemui seorang terapis. 
Yang kutahu hanyalah, selama satu menit aku baik-baik saja, kehidupan terasa menyenangkan, dan aku tidak menginginkan sesuatu pun, lalu pada menit berikutnya aku tidak sabar untuk kabur, aku kacau balau, tergelincir, dan meluncur kembali. – hlm 29
Scott yang malang. Dia bahkan tidak mengetahui setengah dari permasalahannya. Dia teramat sangat mencintaiku, sehingga membuatku tersiksa. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa melakukan itu. Aku akan gila jika jadi dia. – hlm 29 
Sedangkan Anna merupakan wanita yang suka dipuja. Menikmati ketika merasakan Tom lebih memilih dirinya ketimbang Rachel. Menikmati saat-saat dimana semua mata lelaki memandangnya dan terlebih lagi menikmati ketika ‘mereka lebih memilihku ketimbang istrinya sendiri’. Ia sebenarnya menyukai pekerjaan lamanya namun demi pernikahan ini Anna memilih menjadi istri dan ibu yang baik. Untuk Tom dan untuk Evie—putrinya. Namun kehadiran Rachel begitu mengganggu. Membuat Anna ingin memanggil polisi untuk mengeyahkan Rachel. Anna benar-benar ingin Rachel jelek, gendut dan pemabuk itu menghilang dari keluarganya. 

Dengan tiga tokoh yang benar-benar mengesalkan itu, saya bingung harus memercayai siapa. Saya malah mengira salah satu dari mereka adalah pembunuhnya—dan juga saya mengira Megan membunuh dirinya sendiri. Tapi, apakah benar perkiraan saya itu? Tentu saja saya tidak akan memberi bocorannya.

Lalu plotnya sendiri, terasa mencekam. Pada hari pertama saya membacanya, saya pusing bahkan bermimpi buruk. Perkataan tokoh-tokoh itu aneh sekali, sedikit mengiris dan miris juga. Plotnya berganti-ganti dengan cepat, saya bahkan mengganti-ganti mengira pembunuhnya. Pada halaman sekian saya mengira pembunuhnya adalah A, lalu pada halaman selanjutnya saya mengira pembunuhnya B, dan halaman sekian lagi C, begitu terus hingga saya bingung sendiri ini sebenarnya ceritanya bagaimana sih?

Halaman-halaman awal itu memang butuh kesabaran ekstra, kita hanya akan diperlihatkan kereta dan masa lalu Rachel juga Megan. Dan pada halaman awal itu saya sering mengeluh ‘ini ceritanya tentang apa sih?’ Lalu semakin ke tengah akhirnya diperlihatkan tokoh Anna, yang lebih stabil namun tetap saja aneh. Halaman demi halaman saya baca dengan penasaran, tapi saya tidak menemukan clue apa pun. Penulis benar-benar menyembunyikan pembunuhnya dengan rapi. Lalu ketika saya mengetahui siapa pembunuh sebenarnya, saya merasa sesak sebagaimana tokoh-tokoh di dalam novel ini. 

Ketika perhatikan lebih lanjut, opening novel ini, di bagian tulisan yang memiliki background kereta, itu merupakan clue tentang Megan. Tapi hanya itu saja. Tidak akan jelas ada apa dengan kosa kata itu jika tidak mencapai ending cerita. Selain itu, tokoh-tokohnya lumaya mirip. Para lelaki adalah pekerja keras. Lalu Tom dan Scott termasuk orang yang melek teknologi, berbanding terbalik dengan Anna dan Rachel yang bisa menghilangkan data di komputer dalam sekali sentuhan. Makanya kedua wanita itu tidak begitu cocok dengan komputer. Namun tambahan lagi, ketiga wanita itu bermasalah dengan anak. Ada yang tidak menginginkan anak, namun ada juga yang sebaliknya, dengan alasan tertentu.

Novel ini sendiri benar-benar mengerikan! Di halaman terakhir memasuki bagian sadisnya. Saya tidak akan menyarankan novel ini untuk remaja. Novel ini bukan hanya sadis, melainkan bengis, kasar, gila dan apa pun sebagainya! Saya benar-benar tidak bisa bernapas. Namun endingnya memuaskan!

Secara umum novel ini cocok dibaca bagi yang menyukai novel pembunuhan dengan plot twist yang keterlaluan! 
Siapa bilang mengikuti kata hatimu adalah sesuatu yang baik? Itu egoisme murni, keegoisan tertinggi. – hlm 40

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Habis nonton filmnya-malah penasaran versi novelnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mbak dibaca novelnya :D aku malah jadi penasaran sama filmnya

      Hapus