Penulis: Marissa Meyer
Penerjemah: Jia Effendie
Penyunting: Selsa Chintya, Brigida Ruri
Proofreader: Titish A.K.
Design cover: @hanheebin
Tebal: 576 halaman
Terbit: Mei 2016
Penerbit: Spring
ISBN: 978-602-71505-8-4
Keterangan: Novel Seri, Dystopia, Science Fiction, Terjemahan, Re-telling
B L U R B
Cinder dan Kapten Thorne masih buron. Scarlet dan Wolf bergabung dalam rombongan kecil mereka, berencana untuk menggulingkan Levana dari takhtanya.
Mereka mengharapkan bantuan dari seorang gadis bernama Cress. Gadis itu dipenjara di sebuah satelit sejak kecil, hanya ditemani oleh beberapa netscreen yang menjadikannya peretas andal. Namun kenyataannya, Cress menerima perintah dari Levana untuk melacak Cinder, dan Cress bisa menemukan mereka dengan mudah.
Sementara itu di Bumi, Levana tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu pernikahannya dengan Kaisar Kai.
Baca juga:
[Review] The Lunar Chronicles #1: Cinder
[Review] The Lunar Chronicles #2: Scarlet
[Review] The Lunar Chronicles #4: Winter
R E V I E W
Perjalanan Cinder untuk mencegah Ratu Levana menguasai bumi terus berlanjut. Setelah di buku kedua, diperlihatkan tambahan tiga tokoh, yaitu Scarlet, Wolf, dan Throne, kali ini di buku ketiga ada Cress, Jacin dan Winter.
Crescent Moon Darnel, seorang programmer Bulan yang selama tujuh tahun hidupnya dikurung oleh Levana di sebuah satelit yang berada di antara Bumi dan Bulan. Meretas, membuat program rumit, dan sekaligus melihat keadaan Bumi dari jarak jauh. Cress secara tak langsung menjadi kunci bagi Ratu Levana yang seperti memiliki kekuataan sihir yang luar biasa, padahal itu semua hanya masalah kecanggihan teknologi.
Cress juga seorang shell--orang Bulan yang tidak dapat dikendalikan pikirannya dan dipisahkan dari orang Bulan lainnya sejak bayi. Selama terkurung dalam satelit, sama sekali tidak ada benda tajam di tempat itu. Cress hanya menunggu Ahli Sihir Sybil Mira membawakannya persediaan setiap berapa waktu sekali. Cress tidak punya teman--ia hanya berteman dengan program Cress Kecil yang ia buat. Gadis itu suka olahraga, bernyanyi lagu-lagu Bumi era kedua, dan memerhatikan Bumi dengan perasaan kagum.
-----
[Wow,] gumam Carswell Throne. Dia menjatuhkan kakinya ke lantai dan mencondongkan tubuh ke depan untuk memperhatikan Cress lebih dekat. [Apa itu semua rambut?"]Coba tebak dengan siapa Cress kita dipasangkan? Carswell Throne! Perpaduan yang sungguh gila. Cress, seorang gadis kaku yang selama tujuh tahun hidupnya tidak pernah bersosialisasi, dan Throne, laki-laki yang realistis dan imajinatif dalam satu waktu. Bisa dibilang, Throne memiliki sifat yang sama seperti coding-coding yang dikerjakan Cress: membuat ketagihan walau kadang mengesalkan.
Dan di sini saya lumayan kagum dengan pemikiran Throne yang terlalu-terlalu-terlalu optimis! Throne yang buta tidak pernah mengeluh atau takut ketika mereka tersesat di gurung. Kapten ini malah terus menyemangati Cress dan memberi tutorial yang baik. Yah, walah saya agak terkejut melihat Throne yang usilnya berkurang saat bersama Cress. Tapi, saya akhirnya senyum-senyum sendiri melihat interaksi kedua orang ini. Throne menjaga ucapannya jika itu berhubungan dengan Cress. Apalagi saat Throne mengabulkan permintaan Cress yang ingin dicium ketika mereka sekarat.
“Kalau kau benar-benar percaya apa yang baru saja kau katakan,” kata Throne, menyimpan pistolnya, “artinya kau sama sekali tidak bisa mengenali sesuatu yang benar-benar berharga ketika melihatnya.” – hlm 303Sayangnya, saya sedikit kesal. Adegan manisnya hanya berlangsung sebentar. Lalu cerita berganti ke scene lain.
Selain itu, Scarlet dan Wolf yang ditampilkan sangat sedikit di buku ini malah menjadi favorit saya. Mereka pasangan yang membuat merinding dan ikut sedih saat keduanya dipisahkan. Wolf menjadi sangat tidak berdaya saat Scarlet tidak di dekatnya. Jauh lebih menyakitkan daripada seseorang yang patah hati. Wolf bahkan memeluk kaleng tomat saat tidur. Itu menyedihkan sekali. Saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya ketika melihat Wolf yang seperti ini. Mungkin dalam waktu dekat saya akan membaca ulang Scarlet--saya merindukan kisah cinta dua puluh empat jam mereka.
Kemudian Cinder dan Kai. Saya suka pertemuan mereka kembali! Saya suka bagaimana satu kalimat dari Kai berhasil membuat kepercayaan diri Cinder meningkat! Ending di novel ini sangat mengesankan! Saya tidak sabar melihat bagaimana keduanya memimpin peperangan melawan Levana. Dan juga Torin, penasehat Kai, akhirnya mendukung Kai, walau tidak secara terang-terangan.
“Namun,” kata Torin, “saya yakin pertanda pemimpin besar adalah mempertanyakan keputuan yang diambil oleh pemerintahan sebelumnya. Mungkin, begitu kita menyelesaikan masalah-masalah kita yang lebih genting, kita bisa memikirkannya lagi.” – hlm 319Oh, jangan lupakan juga dua tokoh baru kita, sekaligus tokoh utama di buku berikutnya. Winter dan Jacin Clay. Saya melihat di sini Jacin sangat melindungi Winter, walaupun mereka ada di tempat berbeda. Sementara Winter, ia sepertinya cukup baik, namun kata-katanya kacau. Orang-orang menyebut Winter gila, meski ini masih sekilas saja diperlihatkan. Dan Winter menyebutkan kalau dulu ia punya dua teman: Putri Selena dan Jacin Clay. Saya jadi penasaran siapa sebenarnya Jacin Clay ini.
“Saat kau menutup mata, kau menjadi lebih rapuh. Kau harus belajar menggunakan kemampuan itu dan terus mengaktifkannya sambil mewaspadai sekelilingmu.” – hlm 19
Namun, khayalan-khayalannya semakin lama semakin fana, kenyataan menyingkirkan khayalannya dengan rasa sakit, ketidaknyamanan, dan rasa haus. – 179
“Kenapa harus setia? Levana bisa memalsukan kesetiaan. Seperti temanmu si tentara spesial. Dia bisa memperlihatkan refleks cepat, insting bagus, dan beberapa nalar umum. Pasangkan dia dengan seorang ahli sihir yang bisa mengubahknya jadi hewan buas, maka tidak penting lagi apa yang dipikirkan atau diinginkannya. Dia hanya melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.” – hlm 232-233
Jacin menyeringai. “Seandainya kau belum tahu, orang-orang cenderung mati di dekatmu. Kurasa itu tren yang tidak akan berhenti dalam waktu dekat.” – hlm 272
“Oh, dia seorang android pendamping. Android yang manis. Hanya aja, kebanyakan pria tidak suka mengakui bahwa pasangannya ternyata dibeli dan diprogram.” – hlm 293
Tambahan, sebenarnya novel ini cukup rumit buat saya. Plotnya yang begitu ramai terkadang membuat saya pusing. Namun, tetap saja, pesona re-telling versi Marissa Meyer ini tidak bisa dielakkan. Saya suka di bagian latihan Cinder dengan Wolf dan Throne. Saya juga suka bagaimana kegesitan Throne saat mengambil keputusan, terlihat sekali kalau Throne ini sudah sangat berpengalaman dalam bertindak di lingkungan yang kurang memuaskan. Lalu saya juga suka bagaimana pertemuan ayah dan anak di buku ini, yah meski kesedihannya tidak bisa saya rasakan terlalu lama karena mereka harus bergegas pergi ke Bulan. Bisa dibilang, di buku ini lebih banyak aksi, lebih banyak kejadian, lebih banyak pertanyaan dan penantian. Saya tidak sabar untuk bisa membaca Winter! Dan satu request dari saya buat Penerbit Spring, saya berharap Fairest diterjemahkan juga! Saya penasaran sebenarnya Levana ini kenapa? Di buku ini ditulis kalau Levana juga pernah mengharapkan cinta, berarti sebenarnya dulu dia pernah punya hati, kan?
“Kau datang untukku.”
Throne tersenyum, menatap dunia seperti seorang pahlawan yang tidak egois dan pemberani.
“Jangan terdengar begitu terkejut.” Throne menjatuhkan tongkatnya dan menarik Cress ke dalam dekapan meremukkan yang menjauhkannya dari Wolf dan mengangkatnya dari lantai. “Rupanya kau berharga sangat tinggi di pasar gelap.”
0 Komentar