Judul: Red Queen
Penulis: Victoria Aveyard
Penerjemah: Shinta Dewi
Penyunting: Jia Effendi
Penata aksara: CDDC
Digitalisasi: Elliza Titin Gumalasari
Tebal: 524 halaman
Terbit: April 2016
Penerbit: Noura Books
ISBN: 978-602-385-062-4
Keterangan: Novel Seri
BLURB
Kupandangi kedua
tanganku, lenganku, mengagumi saat petir menyulut tubuhku. Pakaianku terbakar,
gosong oleh panas api, tetapi kulitku tak berubah. Semuanya salah. Aku masih
hidup.
Ajang Pemilihan Ratu Kaum Perak telah menguak kekuatan luar
biasa yang tersembunyi dalam diri Mare. Dia pun dijodohkan dengan pangeran
berdarah perak dari Kerajaan Norta. Mungkin kau anggap kisah ini akan berakhir
manis; putri dan pangeran hidup bahagia selama-lamanya.
Tapi, tunggu dulu. Masalahnya, Mare adalah Kaum Merah—tidak
seharusnya bersatu dengan Kaum Perak.
Selama ini Kaum Merah hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan
Kaum Perak, menjadi sasaran empuk kekuatan supernatural Kaum Perak. Kenyataan
yang sangat dibenci Mare. Kekejaman Kaum Perak telah membuat orang-orang yang
dia sayangi mati sia-sia.
Sebagai tunangan pangeran Perak, kini dia memiliki
kesempatan langka. Inilah saatnya memulai perlawanan, apa pun risikonya. Tapi,
mampukah dia melawan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya?
REVIEW
Mereka telah menjungkirbalikkanku, menukar Mare dengan Mareena, menukar seorang pencuri dengan mahkota, kain rombeng dengan sutra, Merah dengan Perak. Pagi ini aku seorang pelayan, malam ini aku seorang tuan putri. – hlm 142
Dimulai saat Mare Molly Marrow mengungkapkan ‘AKU BENCI
JUMAT PERTAMA’ di awal bab membuat novel
ini berhasil menyulut perhatian tentang apa sebenarnya yang tengah terjadi.
Hari Jumat pertama itu ternyata adalah sebuah pertunjukkan adu kuat yang
disajikan Kaum Perak, demi ‘menyenangkan’ Kaum Merah.
Kaum Perak dan Merah dibedakan berdasarkan warna darahnya.
Kaum Perak memiliki darah yang berwarna perak, membuat mereka lebih pucat,
namun sekaligus lebih anggun. Kaum Perak adalah kaum yang berkuasa, dengan
banyak klan yang membuat mereka selalu mengelu-elukan ‘Kekuasaan dan Kekuatan’.
Sementara Kaum Merah merupakan kaum yang memiliki darah
merah. Kaum ini kaum yang selalu berada di bawah, selalu menjadi pelayan, atau
apa pun sesuatu yang rendah dan tak pantas diperjuangkan hak asasinya. Kaum
Merah selalu waswas ketika mereka tidak memiliki pekerjaan. Karena pada usia
tujuh belas tahun, Kaum Merah yang tidak memiliki pekerjaan akan diikutkan
dalam perang, dan tentu saja dikorbankan.
Sebagai tokoh utama dalam novel ini, Mare Marrow memiliki
watak yang keras kepala dan cara berpikir yang berbeda. Ia tahu sesuatu yang
ada di balik adu kuat setiap Jumat pertama yang disajikan Kaum Putih. Itu merupakan
pernyataan tak kasat mata dari Kaum Perak yang menyatakan Kaum Perak selalu
kuat. Mare juga selalu ingin melindungi siapa pun, meski pada akhirnya ia
membuat adiknya, Gisa Marrow—si harapan keluarga—terluka oleh keinginannya
melindungi Kilorn, sahabatnya.
Terpukul dengan ketidakbisaannya melindungi Gisa dan
Kilorn—ternyata membawa Mare bertemu dengan seseorang yang akhirnya membuat
Mare memasuki istana Kaum Perak.
Belum juga dua puluh empat jam Mare berada di istana itu,
sesuatu terungkap dari dirinya. Mare bukan hanya seorang Merah yang lemah,
tetapi Mare merupakan sebuah evolusi.
Mereka telah menghabiskan begitu banyak waktu berada di puncak, terlindungi dan terisolasi, hingga mereka lupa bahwa mereka pun bisa jatuh. Kekuatan mereka telah menjadi kelemahan mereka. – hlm 367
Sayangnya alur awal yang penuh konflik menjadikan harapan
saya tentang novel ini begitu besar. Saya sama sekali tidak terima ketika
akhirnya Mare—gadis yang selalu mencuri, berlari, dan memasuki pasar gelap
ketika dirinya masih berada di desa Kaum Merah—yang sudah berubah status secara
paksa menjadi seorang Perak, malah terperangkap dalam pesona cinta sang
Pangeran. Bahkan dengan kode-kode yang diberikan orang sekitarnya, Mare tetap
yakin kalau sang Pangeran adalah seseorang yang baik hati dan memiliki kesamaan
nasib dengannya dan tidak akan pernah berkhianat padanya. Padahal jelas sekali,
si Pangeran satu ini selalu pintar dalam berkata-kata. Mare pun tahu ungkapan
‘jangan percaya dengan kata-kata’, tapi Mare sepertinya kehilangan instingnya di
dalam istana ini. Benar-benar mengenaskan. Saya kasihan dengan Pangeran yang
satu lagi—yang jelas-jelas selalu bertindak dengan aksi, yang selalu menyelamatkan
Mare, malah menjadi pihak yang dibenci Mare.
Lalu, konflik novel ini sendiri menjadi stagnan di sekitar
halaman 300. Selalu pembahasan tentang sesuatu yang diulang-ulang kembali, ya
cuma seperti membolak balikkan telur dadar di penggorengan berkali-kali hingga
gosong. Itu membuat penulis lupa memberi konflik yang lebih berliku di
pertengahan cerita dan sekaligus penulis lupa memberi fungsi pada klan-klan
yang banyak dan rumit dihapal itu. Saya agak kecewa dengan rasa penasaran saya
pada klan-klan Perak yang tidak terpenuhi.
Namun, saya suka dengan fakta yang disampaikan
Julian setelah kepergiannya, meski sebenarnya itu juga sudah tertebak dari
awal. Oh, satu twist yang mungkin agak membuat saya terkesan, Ratu Elara
ternyata sama sekali tidak peduli dengan rintangan atau jabatan apa pun yang
menghalangi kekuasaannya. Benar-benar Ratu yang mengerikan.
Walaupun novel ini berhasil membuat saya kesal selama 200
halaman terakhir, saya tidak akan menolak jika mendapat kesempatan membaca buku
keduanya. Siapa tahu, Mare sudah kembali menjadi Mare yang dulu, atau bahkan
lebih kuat lagi.
Sudah merupakan watak kita, demikian Julian berkata. Kita menghancurkan. Itu sudah ketetapan kaum kita. Apa pun warna darahnya, manusia akan selalu jatuh. – hlm 304
0 Komentar