Judul: Scheduled Suicide Day
Penulis: Akiyoshi Rikako
Penerjemah: Andry Setiawan
Penyunting: Brigida Ruri 'Watanabe'
Penyelaras aksara: Mery Riansyah
Desainer sampul: Pola
Penata sampul: @teguhra, @fadiaaaa_
Terbit: April 2017
Penerbit: Haru
ISBN: 978-602-6383-19-8
Keterangan: Hantu


B L U R B

Ruri yakin ibu tirinya telah membunuh ayahnya.
Tak sanggup hidup bersama ibu tirinya, Ruri bertekad bunuh diri untuk menyusul ayahnya.

Ruri akhirnya pergi ke desa yang terkenal sebagai tempat bunuh diri, tapi dia malah bertemu dengan hantu seorang pemuda yang menghentikan niatnya. Hantu itu berjanji akan membantu Ruri menemukan bukti yang disembunyikan oleh ibu tirinya, dengan janji dia akan membiarkan Ruri mencabut nyawanya seminggu kemudian jika bukti tersebut tidak ditemukan.

Itulah jadwal bunuh diri Ruri: satu minggu, terhitung dari hari itu.


R E V I E W

Dalam kalender Jepang, hari Taian merupakan hari yang paling baik dalam seminggu. Hari itu dianggap penuh keberuntungan. Semua kegiatan yang dilakukan akan berlangsung dengan sukses. Bermodalkan pengetahuan tentang fengshui dan kalender Jepang yang dimilikinya, Watanabe Ruri merencanakan hari kematiannya di hari Taian.

Ruri merencakan bunuh dirinya dengan sebaik mungkin. Ia juga mencari tempat terbaik untuk melakukan keinginannya tersebut dan menuliskan surat yang berisi tentang pembunuhan yang dilakukan oleh ibu tirinya. Pembunuhan yang telah merenggut satu-satunya alasan hidup Ruri di dunia. Pembunuhan terhadap ayahnya, seorang food produsen terkenal yang juga tengah mengembangkan bisnisnya.

Desa Sagamino terkenal sebagai desa bunuh diri sejak penanyangan film Aoyami no Mori. Banyak orang-orang yang datang ke desa itu untuk mengakhiri hidupnya. Warga desa yang sedih dengan banyaknya kasus bunuh diri yang terjadi di tempat itu memikirkan segala cara untuk menyelamatkan hidup orang-orang yang ingin mati tadi. Dan usaha mereka berhasil menghalangi kematian Ruri.

Tidak menyerah, Ruri kembali ingin mencari cara lain untuk mati. Namun di saat itu pula ia menyadari hantu penunggu desa berusaha mencegah kematiannya dengan mengajak Ruri mencari bukti pembunuhan yang dilakukan oleh ibu tirinya. Ruri yang mulai berteman dengan hantu itu tidak begitu saja mau membatalkan bunuh dirinya. Ia hanya akan mencari buktinya hingga hari Taian berikutnya.
"Ayo kita tentukan batas waktunya," sahut Ruri.
"Batas waktu?"
"Mencari buktinya hanya sampai saat itu. Kalau sampai batas waktu itu bukti tidak ditemukan, aku punya hak untuk mati. Bagaimana?"
-----

Sudah lama sejak terakhir kali saya membaca Girls in The Dark. Saya hampir lupa kalau penulis suka menggunakan konsep twist berlapis. Namun, kesalahan pertama saya saat membaca buku ini adalah membandingkannya dengan Girls in The Dark. Jika dibandingkan seperti itu, novel ini berubah menjadi sangat membosankan. Tentu saja karena makna cerita dan suasananya yang berbeda. Jadi saya sarankan jika ingin membaca novel ini, sebaiknya baca aja tanpa berekspetasi berlebihan.

Mari lanjut ke isi. Bercerita tentang Watanabe Ruri yang lahir dari keluarga harmonis. Mendapatkan banyak cinta dari kedua orangtuanya yang adalah pecinta masakan. Ibunya seorang pattisier, dan ayahnya seorang koki. Hobi dan harmonisasi dari kedua orangtuanya membuat Ruri pun sangat mencintai masakan. Watanabe Sanao--ayah Ruri--bahkan bisa menjadi food produsen terkenal berkat kekompakkannya dengan sang istri. Benar-benar keluarga idaman. Namun, yang menjadi masalah adalah jika keluarga idaman tiba-tiba terpisah, tanpa persiapan apa pun. Itulah yang terjadi pada Ruri.
Bagi seorang anak, orangtua adalah sosok yang tak terkalahkan. Anak-anak menganggap orangtua mereka sebagai sosok yang abadi. -- hlm 24
Ibu Ruri meninggal di saat bisnis keluarga mereka sedang di puncaknya. Tapi, hal itu tidak membuat Ruri dan ayahnya berduka lama. Mereka berdua pun bangkit dan meneruskan hidupnya masing-masing. Hingga suatu ketika, Nakajima Reiko mendatangi hidup Ruri dan ayahnya. Wanita yang terlihat sangat mengagumi Watanabe Sanao itu berhasil masuk secara perlahan dan akhirnya menjadi istri ayah Ruri. Meski awalnya tidak terima, Ruri pun menerima pernikahan itu. Namun ternyata Reiko mengkhianati kepercayaannya.

Melihat dari jalan ceritanya, novel ini sangat sederhana. Masalah kepercayaan dan pola pikir. Tapi dua masalah itu adalah sumber utama lahirnya depresi. Dan itu yang dialami Ruri. Jalan buntu.
"Intinya, aku tidak ingin menyuruhmu untuk terus hidup, karena itu tidak bertanggung jawab. Aku juga orang yang sudah berpikir untuk mati. Kalau aku menyuruhmu terus hidup, kau malah akan memberontak. Kau malah akan jadi kesal karena ada yang seenaknya memerintah dirimu untuk tidak bunuh diri, dan kau jadi ingin bertanya, 'Lalu memangnya kau bisa menyelesaikan masalahku?'
"Karena itu, alih-alih mengatakan kalimat seperti 'kalau kau berjuang keras, kau pasti bisa', atau 'kalau kau punya keberanian untuk mati, kau pasti bisa melewatinya', aku ingin membantumu menghadapi masalahmu." -- hlm 92
Untuk adegannya sendiri, saya terkesan dengan percakapan di halaman 193. Percakapan itu seolah Reiko ingin memberi racun pada Ruri jika saatnya tiba nanti. Saya sampai kaget ketika di halaman selanjutnya diceritakan dengan berbeda. Kalimat ambigu jika disampaikan dengan nuansa berbeda, ternyata maknanya jadi berbeda.

Selain membahas tentang bunuh diri, novel ini juga membahas tentang masakan dan fengshui. Saya suka bagaimana cerita ini berakhir. Begitu manis dan menyentuh. Novel ini sebaiknya diberikan pada orang-orang yang depresi, dengan begitu mereka tahu apa artinya harapan untuk masa depan.