[Review] Bulan Merah

Judul: Bulan Merah
Penulis: Gin Teguh
Tebal: 256 halaman
Terbit: Agustus 2014
Penerbit: Qanita
ISBN: 978-602-1637-33-3
Keterangan: Fiksi Sejarah


BLURB

KAU PERNAH mendengar nama Bulan Merah? Atau setidaknya mengetahui sedikit saja cerita tentangnya? Aku harap belum. Jangankan engkau, orang-orang yang usianya jauh di atas usia kita dipastikan tak banyak yang mengetahui cerita tentang Bulan Merah. Yang tahu pun akan mencibir setiap kali nama Bulan Merah disebutkan.

Tak bisa disalahkan, memang. Tak semua orang pernah menyaksikan Bulan Merah. Mungkin karena tidak ada yang bisa menduga keberadaannya. Satu hari, berita mengatakan kalau Bulan Merah sedang berada di satu kota, tapi hari berikutnya tiba-tiba ada yang bilang kalau justru berada di kota lainnya. Itu membuat Bulan Merah seperti mitos. Semakin diperbincangkan semakin keberadaannya adalah misteri. Dan sebagai salah satu orang yang pernah menyaksikan pertunjukan Bulan Merah, Kakek lalu menceritakannya padaku.

Kata Kakek, Bulan Merah bukanlah kelompok musik keroncong biasa. Dibentuk sekelompok anak muda di tahun tiga puluhan. Pertunjukannya selalu digelar tiba-tiba, tanpa bisa diduga. Itu karena beberapa penonton yang datang juga bukan penonton biasa. Penonton yang tak biasa itu rupanya menyimak dengan saksama setiap lirik lagu yang didendangkan Bulan Merah. Lirik-lirik lagu yang ternyata telah disisipkan pesan-pesan rahasia di dalamnya.

Pesan-pesan rahasia itu kemudian akan berbalas dengan pesan-pesan rahasia lainnya. Semua terjadi begitu cepatnya. Harus cepat, sebelum patroli kolonial Belanda datang dan membubarkan pertunjukan. Sayang, sejarah tak sempat mencatat perjuangannya.

Jadi, nyamankan saja posisi dudukmu. Pastikan kopi terisi penuh di cangkir kesayanganmu. Karena aku akan menceritakan apa yang telah Kakek ceritakan padaku.



REVIEW

Bulan Merah adalah satu dari sembilan Novel Terpilih Beasiswa Kepenulisan Antitesa Mizan 2013. Bercerita tentang perjuangan musik keroncong bernama Bulan Merah di masa kolonial Belanda.

Bermula dari keterlambatan Bre mengunjungi sang kakek, ia secara tak sengaja mendengar kakek menyanyikan sebuah lagu dengan sungguh-sungguh. Penasaran, Bre bertanya tentang lagu itu, namun kakeknya hanya diam dan mengalihkan pembicaraan. Lalu tak lama Bulan Merah keluar dari mulut sang kakek, membawa mereka ke masa silam. Ke masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

---

Rawi, seorang pemilik kelompok musik keroncong yang kemudian mewariskan kelompok musiknya pada dua kakak beradik, Bumi dan Siti. Setelah Rawi meninggal, Bumi bertemu Giok Han dan Bumi menemukan sebuah cara untuk melanjutkan kelompok musik keroncong itu: dengan menjadikannya sebagai pembawa pesan perjuangan, bernama Bulan Merah.

Sebenarnya cerita ini agak sedikit kabur di awal, namun pembawaan penulis yang unik dan agak 'melayu' membuat saya melanjutkan membawa buku ini. Lalu semakin jauh ke dalam cerita, barulah tampak latar cerita dan apa sebenarnya masalah yang ada di buku ini.

Musik keroncong yang awalnya hanya berfungsi sebagai pembawa pesan kemerdekaan, pada akhirnya bubar setelah kemerdekaan. Namun, salah satu anggota musik keroncong Bulan Merah kembali tak berapa lama dengan seseorang yang ternyata penganut politik 'kiri' --Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Meski pada awalnya para anggota Bulan Merah sepakat untuk tidak ikut serta dalam kegiatan politik apa pun, nyatanya kerjasama mereka dengan Lekra membuat kisah mereka harus berakhir dengan status: Bulan Merah adalah kiri.

Poin menarik dari buku ini terletak pada penggunaan bahasanya yang mirip-mirip novel lama tapi tidak kaku dan cara penyampaian twist cerita. Dengan mengambil latar 'kabur' penulis berhasil menghidupkan sejarah dengan caranya tersendiri.

Posting Komentar

2 Komentar