[Review] Selasa Bersama Morrie

Judul: Selasa Bersama Morrie
Penulis: Mitch Albom
Alih bahasa: Alex Tri Kantjono Widodo
Desain sampul: Orkha Creative
Setting: Sukoco
Cetakan kesepuluh: Oktober 2016
ISBN: 978-602-03-3457-8
Keterangan: Memoar, Terjemahan

B L U R B

Bagi kita mungkin ia sosok orangtua, guru, atau teman sejawat. Seseorang yang lebih berumur, sabar, dan arif, yang memahami kita sebagai orang muda penuh gelora, yang membantu kita memandang dunia sebagai tempat yang lebih indah, dan memberitahu kita cara terbaik untuk mengarunginya. Bagi Mitch Albom, orang itu adalah Morrie Schwartz, seorang mahaguru yang pernah menjadi dosennya hampir dua puluh tahun yang lampau.

Barangkali, seperti Mitch, kita kehilangan kontak dengan sang guru sejalan dengan berlalunya waktu, banyaknya kesibukan, dan semakin dinginnya hubungan sesama manusia. Tidakkah kita ingin bertemu dengannya lagi untuk mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan besar yang masih menghantui kita, dan menimba kearifan guna menghadapi hari-hari sibuk kita dengan cara seperti ketika kita masih muda?

Bagi Mitch Albom, kesempatan kedua itu ada karena suatu keajaiban telah mempertemukannya kembali dengan Morrie pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Keakraban yang segera hidup kembali di antara guru dan murid itu sekaligus menjadi

sebuah “kuliah” akhir: kuliah tentang cara menjalani hidup. Selasa Bersama Morrie menghadirkan sebuah laporan terperinci yang luar biasa seputar kebersamaan mereka.

"Morrie tahu ia jadi korban nasib yang tak ada alasannya. Yang menarik ialah bahwa ia tak memilih untuk menjadi marah dan membuat orang lain jadi korban. Harapan, baginya, ialah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh. Tapi akhirnya ia memberitahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan?" —Goenawan Mohamad dalam "Harapan", Catatan Pinggir, Tempo


R E V I E W


Setiap orang tahu mereka akan mati, tapi tak seorang pun percaya bahwa itu bisa terjadi pada mereka dalam waktu dekat. – hlm 85
Morrie Schwartz, seorang dosen mata kuliah Psikologi Sosial, didiagnosa menderita ALS. Penyakit itu menyerang otot-ototnya dan melemahkan fisik Morrie. Awalnya ia merasa begitu terkejutnya, terutama ketika ia tidak bisa berdansa lagi dan tidak pula bisa melakukan segala hal secara mandiri. Tapi ketika suatu hari ia menyadari dunia tetap bergerak bahkan ketika ia merasa jatuh, akhirnya Morrie berpikir apa yang harus ia lakukan untuk hidupnya itu?

Sementara di sisi lain, Mitch Albom--penulis--berkutat dengan pekerjaannya di surat kabar dan majalah olahraga. Ia terlalu sibuk dan sama sekali tidak tahu kalau dosen kesayangannya sedang diambang batas hidupnya. Hingga ketika ia mendengar nama Morrie disebut di televisi, barulah Mitch mengunjungi dosennya itu lagi. Sejak saat itu, setiap Selasa kedua orang yang sudah lama putus hubungan itu saling bertemu untuk membicarakan banyak hal dan mengerjakan sebuah proyek besar.
-----
“Mitch, aku tidak membiarkan diriku hanyut dalam rasa kasihan berlebihan kepada diriku sendiri. Setiap pagi kubiarkan diriku menangis sedikit, tapi hanya itu.” – hlm 61

Saya penasaran untuk membaca buku ini karena sudah membaca dua buku dari penulis. Penulis selalu membuat karya-karya yang menyentuh dengan kejadian-kejadian yang sepertinya diambil dari dunia nyata. Setelah membaca buku ini, saya seperti diajak berkenalan langsung dengan latar belakang tulisan-tulisan yang dihasilkan penulis. Bagaimana pengaruh seorang guru begitu membawa perubahan besar untuk kehidupannya. Penulis sepertinya menulis untuk berbagi. Dan ini sangat terlihat di buku ini.

Ya, kataku, tapi kalau penuaan begitu berharga, mengapa orang selalu berkata, “Ah, kalau saja aku muda lagi.” Kita tidak pernah mendengar komentar, “Kalau saja umurku enam puluh lima tahun.”
Ia tersenyum. “Tahukah kau yang tercermin dari situ? Banyak orang merasa hidup ini tidak memuaskan, ada keinginan yang tidak terpenuhi. Hidup terasa tidak bermakna. Karena kalau kita telah menemukan makna hidup, kita tidak ingin kembali...” – hlm 126
Buku ini diambil dari kisah nyata dan rekaman-rekaman yang ditinggalkan Morrie untuk penulis. Ditulis dengan gaya bahasa fiksi dan ini nyaman sekali dibaca. Meskipun tetap seperti dua buku yang saya baca sebelumnya-- The Time Keeper dan Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto--saya membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan buku ini.
Ia ingin sekali membuktikan bahwa kata “sekarat” tidak sinonim dengan “tidak berguna”. – hlm 12

Saya iri sekali dengan Morrie yang memiliki semangat tinggi. Bahkan ketika ia tahu ia sakit, Morrie tetap berpikir apa yang harusnya ia lakukan? Bukannya menangisi sakit yang dideritanya. Morrie malah membuat suatu 'pemakaman' untuk dirinya sendiri, yaitu dengan bertemu kenalan-kenalannya dan menyampaikan uneg-uneg apa pun yang ingin mereka sampaikan padanya. Lalu Morrie juga membagikan isi pikirannya pada tulisan. Itu membuat seorang kenalannya mempertemukan Morrie dengan pihak televisi dan menjadi awal mula pertemuannya kembali dengan Mitch.

Kadang-kadang kita tak boleh percaya kepada yang kita lihat, kita harus percaya kepada yang kita rasakan. Dan jika kita ingin orang lain percaya kepada kita, kita harus merasa bahwa kita dapat memercayai mereka juga—bahkan meskipun kita sedang dalam kegelapan. Bahkan ketika kita sedang jatuh. – hlm 65
Bagian favorit saya ada di halaman 110, tentang mematikan perasaan. Menurut Morrie sebaiknya orang-orang menerima apa pun perasaan yang mereka dapatkan dengan sepenuh hati, lalu pada saat yang tepat mematikan perasaan tersebut.
"... Apabila kita menahan emosi-emosi itu--apabila kita tidak membiarkan diri mengalaminya--kita tidak pernah mematikan rasa, kita terlalu sibuk menghadapi rasa takut. Kita takut mengalami rasa nyeri, kita takut mengalami rasa sedih. Kita takut mengalami penderitaan akibat cinta.
"Tapi dengan membiarkan diri mengalami emosi-emosi ini. dengan membiarkan diri terjun ke dalamnya, sampai sejauh-jauhnya, kita akan mengalami secara penuh dan utuh. Kita tahu arti sakit. Kita tahu arti cinta. Kita tahu arti sedih. Dan hanya ketika kita mengatakan, 'Baiklah. Aku telah mengalami emosi itu. Aku kenal betul emosi itu. Sekarang aku perlu mematikan perasaan dari emosi itu untuk sementara.'" -- hlm 110
Secara umum, buku ini cocok untuk pembaca yang sedang mencari jati dirinya.


Kutipan:
“Kita harus mencari apa pun yang baik, benar, dan indah dalam masa hidup yang sedang kita jalani. Memandang ke belakang membuat kita seperti sedang berlomba. Padahal usia bukan sesuatu yang dapat diperlombakan.” – hlm 128
“Mitch, kalau kau berusaha memamerkan prestasimu kepada kalangan atas agar kau diterima oleh mereka, upayamu akan gagal. Meskipun sesekali mereka akan menengokmu ke bawah. Dan jika kau berusaha memamerkan keberhasilanmu kepada mereka yang kurang beruntung agar kau diakui oleh mereka, kau juga akan gagal. Mereka hanya akan iri kepadamu....” – hlm 135
“Aku sedang bercakap-cakap denganmu. Maka aku berpikir tentangmu.” – hlm 144
Mereka bahkan tidak mengenal diri sendiri—maka bagaimana mungkin mereka mengenal orang yang mereka nikahi? – hlm 157
“Kematian mengakhiri hidup, tetapi tidak mengakhiri suatu hubungan.” – hlm 186

Posting Komentar

0 Komentar